Monthly Archives: April 2014

Portal ke-16

Aku

Pernah mendengar namamu begitu menggelitik telingan ini semasa aku berseragam. Mencoba membayangkan pesona dari sepercik cerita-cerita indah punggawamu. Ya, ketika itu kita belum saling mengenal satu sama lain. Namun pernah terbersit niat untuk ingin ditemani olehmu selama aku menjalani hiruk pikuk miniatur negara ini.

Kamu

Rumah pertama yang kujadikan tempat pelepas lelah setelah interaksi dengan banyak orang asing. Lumbung yang telah menyuapiku dengan berbagai macam makanan baik maupun buruk. Ya, meskipun pada dasarnya rumahku di sini bukan hanya kamu,hhi…

Aku

Pernah bercerita tentang kegagahanmu. Mulai ketika kamu lahir, belajar merangkak, berjalan, berlari, hingga bisa berteriak lantang

Aku

Pernah melihatmu bersama teman-teman yang lain berkerumun memenuhi aspal, berdiri gagah menantang matahari dan melangkah bak serdadu.

Kamu

Diusia 15mu tahun lalu, di bawah paparan rembulan, sempat aku merenung sembari menatap panggung deklarasi dimana namamu pertama kali disebut dan dimaktubkan dalam secarik kertas. Mencoba berkhayal tentang riuhnya gema takbir menyambut kelahiranmu, membayangkan semangat juang yang memenuhi setiap inci lantai ruang itu.

Aku

Teringat ketika aku bermandi peluh menantang himpitan waktu. Bersama teman-temanku dengan sangat gagah menjunjungmu setinggi mungkin. Tidak ingin kau terhimpit ditengah-tengah panji pesaingmu, dengan maksud menunjukkan bahwa kamu masih hidup.

Aku

Tapi itu dulu. Dulu ketika kita masih bersanding mesra. Berjalan beriring bersama, mencoba memutihkan tempat yang penuh warna. Ya, masa dimana semangatku dan semangatmu bisa seiring sejalan.

Kamu

Kini kau memasuki portal ke 16. Usia emas yang harusnya menjadi masa dimana namamu menjadi buah bibir setiap orang dan panjimu ditinggikan. Masa dimana punggawamu semakin jatuh hati terhadapmu. Masa dimana tumbuh keinginan khalayak untuk membuat sejarah bersamamu. Masa dimana langkahmu makin membumi, dan masa dimana tubuhmu berdiri tegap. Masa-masa keniscayaan.

Kamu

Sosokmu kini makin asing dimataku. Sulit membedakan prajuritmu dengan pasukan yang lain. Meraba-raba ketika harus melihat panjimu, apakah masih seperti dulu atau telah tertumpah warna lain. Punggawamu juga lebih sering kulihat bermain dengan orang tua, berjenggot dan berbendera. Mereka terlihat lebih bersemangat  walaupun berdiri tegak lurus dengan matahari, berkumpul penuh sesak di sebuah stadion, dan mengangkat bendera yang jauh lebih besar dari milikmu. Yang tidak kusuka yaitu ketika tak jarang namamu disandingkan dengan nama mereka.

Ya, entah aku terlalu yakin atau ekspektasiku terlalu tinggi perihal idealismu, idealis yang makin lama kulihat makin luntur seiring munculnya warna dan suara para orang tua itu. Hilang sudah keajaiban kata ‘ta’limat’ terhadap prajuritmu, tergantikan dengan kepatuhan dan semangat terhadap instruksi para ‘tetua’.

Aku

Sempat terbersit seonggok pertanyaan, apakah umurmu lebih tua atau masih lebih muda dari yang sebenarnya? Bagaimana kabarmu sekarang? Banyak orang menanyakan keadaanmu, menanyakan punggawamu yang senantiasa bertilawah ketika berkumpul, menanyakan panjimu yang senantiasa dijunjung dengan gema takbir. Itu semua pertanyaan yang susah untuk aku jawab, dan bahkan terkadang kutimpali dengan pertanyaan nakalku, apakah kamu masih mampu membuat jejak semasa dulu? Ataukah hanya tenggelam dalam senja sejarah yang indah?

Kamu

Mawarmu tak semerah dulu, tanganmu tak sekekar dulu, dan warna-warna itu seakan memudar. Tenanglah, bagaiamanapun keadaanmu, masih tersimpan sebongkah keyakinanku bahwa kau akan tetap ada. Ya, ada meskipun dengan nafas yang tersengal, tubuh yang membungkuk dan langkah yang tertatih.

Kamu

Hei, jangan pernah tanya kemana perginya aku. Tanyalah kepada punggawamu yang lain atau bisa juga kau bertanya pada dirimu sendiri. Kenapa mereka lebih bisa tersenyum bersama orang tua itu, bisa lebih erat mengelilingi bendera itu dan lebih bangga memakai baju itu? Daripada bersamamu?

Aku

Rindu pada masa dimana kita mewarnai aspal-aspal itu, takbir bersama, duduk bersama, bercengkrama mengenai nasibmu, aku dan tempat yang kita pijaki ini. Tersenyum di dalam proyeksi manis kita tentang masa mendatang. Melingkar di sebuah tempat sederhana tanpa ada pembicaraan lain kecuali kita, ya kita. Tanpa mereka, tanpa dia, tanpa warna lain, dan tanpa orang tua.

Masa dimana kata faham, tsiqoh dan ta’limat menjadi kekuatan kita bersama, dan masa dimana aku bisa membedakan antara punggawamu dan prajurit orang tua tanpa ada interfensi serta kepentingan yang sering digabungkan dengan urusan para tetua itu.

Aku

Ya, meskpiun tak sehebat teman-temanku dalam mengenalmu dan mencintaimu, meskipun tidak selama mereka berinteraksi bersamamu, tapi yakinlah bahwa aku masih paham bagaimana cara memperlakukanmu sebagaimana mestinya. Aku paham bagaimana cara mengangkat panjimu, aku paham bagaimana cara bersenda gurau bersamamu, dan aku masih sangat paham bagaimana bertakbir lantang bersamamu.

 

Untukmu yang telah menemaniku :3

Categories: Tulisan | Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.